Catatan dan Masukan Masyarakat Sipil untuk Penyusunan Target SNDC


Jakarta, Kabar24 – Pemerintah Indonesia tengah menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (Second Nationally Determined Contribution, SNDC) yang akan disampaikan ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)  pada Agustus 2024.

Pemerintah mengisyaratkan target SNDC akan selaras dengan skenario pembatasan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Pemerintah mengungkapkan setidaknya ada tiga perubahan dalam penyusunan penetapan target penurunan emisi di SNDC. Pertama, penggunaan data emisi tahun 2019 sebagai basis rujukan pengukuran pengurangan emisi. Kedua, pemutakhiran dalam transparansi pengumpulan data, pelaporan dan verifikasi. Ketiga, penurunan emisi dari sektor energi akan mengacu pada RPP Kebijakan Energi Nasional (KEN). 

Institute for Essential Services Reform (IESR), bagian dari koalisi masyarakat sipil yang memberikan masukan bagi penyusunan SNDC, menilai bahwa perubahan tahun rujukan pengurangan emisi dan penguatan aspek transparansi merupakan langkah maju.  Perhitungan pengurangan emisi yang bukan lagi menggunakan proyeksi emisi tanpa intervensi atau business as usual  (BAU), melainkan menggunakan tahun rujukan, merupakan pendekatan yang lebih aktual dan terukur karena berdasar pada data historis yang konkret. 

Menyoal pemutakhiran sistem transparansi SNDC, IESR memandang perlu diterapkan dengan penetapan target penurunan emisi yang jelas dan spesifik per tahun. Target penurunan emisi ini harus pula meliputi semua sektor dan semua jenis gas rumah kaca.

meningkatkan level ambisi mitigasi emisi, termasuk di sektor ketenagalistrikan dan transportasi.

“Strategi penurunan emisi di sektor ketenagalistrikan, seperti dengan memperlengkapi PLTU batubara dengan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), tidak efektif dan efisien untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission, NZE). Strategi cofiring biomassa perlu ditinjau ulang. Selain mempertimbangkan pemenuhan bahan baku yang diproyeksi membutuhkan Hutan Tanaman Energi minimal 2,33 juta hektar, verifikasi klaim penurunan emisi juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan emisi dari siklus hidup dari biomassa tersebut,” ungkap Akbar.

Selain RPP KEN, Akbar menekankan tentang penyelarasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dengan tujuan SNDC. RUU tersebut masih mencakup teknologi energi baru berbasis batubara, seperti batubara tercairkan dan batubara tergaskan untuk menghasilkan Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar pengganti LPG. Hal ini menjadi kontraproduktif dengan ide dan tujuan transisi energi dan aksi iklim.

Yosi Amelia, Staff Program Hutan dan Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan memaparkan, sektor hutan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use, FOLU) menjadi penyumbang emisi terbesar sekitar 50,1 persen. Sektor FOLU diharapkan menyerap lebih banyak emisi dibandingkan melepaskannya (net sink) pada 2030 dengan skenario Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP) untuk pencapaian nir emisi 2060 atau lebih cepat. Yosi mendorong pemerintah untuk memperluas dan memperkuat pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

IESR bersama beberapa organisasi masyarakat sipil telah mengembangkan beberapa rekomendasi sektoral yang perlu menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia dalam menyusun dokumen SNDC. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyusunan rekomendasi tersebut adalah ICCAS, Yayasan Rumah Energi, CIPS, Koaksi Indonesia, Yayasan Madani Berkelanjutan, Yayasan Humanis, Yayasan Indonesia CERAH, Nexus3, YPBB, dan IESR. Koalisi masyarakat sipil telah menyampaikan rekomendasi sektoral tersebut ke menteri atau pimpinan lembaga terkait pada bulan November 2023.



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Top